Langsung ke konten utama

Adat Istiadat Suku Angkola ( Angkola Tribe )

Sekilas  Tentang Adat Istiadat Budaya dan Bahasa serta Marga Marga Dalam Sistematis Suku Angkola Sumatera Utara Indonesia Dikutip dari Berbagai Sumber Dirangkum dan disusun ulang oleh : Ilmar Dalimunthe
Di Antaranya :
Adat Istiadat
Perkawinan Di Budaya Suku Angkola Dikenal Dengan Istilah Marlodjong

MARLOJONG

BUKAN ADAT ISTIADAT BATAK

Tetapi Marlodjong Adalah salah satu Adat Istiadat Budaya yg ada pada Suku Angkola Sumatera Utara Indonesia

Pada masyarakat Angkola, jaringan kekerabatan itu muncul karena adanya perkawinan, termasuk perkawinan marlojong ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan yang seperti ini sering ditemukan di kampung (bona bulu) dan di perkotaan yang merupakan tempat tinggal di perantauan. Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) perkawinan tanpa persetujuan orang tua yang disebut dengan marlojong. Masing-masing kedua cara ini ada aturan, tata cara, dan tata tertibnya yang harus selalu dipa-tuhi oleh setiap orang Angkola. Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun Ang-kola berikut ini, /Aha na tubu di lambung ni suhat/Ulang baen margonjong-gonjong/Adong na marbagas dipabuat/Dung i muse adong na marlojong/ yang artinya adalah, /Apa yang tumbuh dekat keladi/Jangan dibuat berderet lagi/Ada yang kawin dilamar pasti/Namu ada yang kawin lari/.
Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ pada masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah Angkola. Tulisan ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal perkawinan marlojong ‘kawin lari’, salah satu cara perkawinan pada masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan marlojong ini merupakan jalan keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat diselesaikan. Untuk itu, penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui mufakat seperti kata pantun Angkola berikut ini, /Mago pahat mago uhuran/Di toru ni ragi-ragi/Mago adat tulus aturan/Anggo dung mardomu tahi/ yang artinya adalah, /Hilang pahat hilang ukuran/ Di bawah adanya urat/Hilang adat hilang aturan/Kalau sudah bertemu mufakat/. Maksudnya, musyawarah/mufakat itu dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul.
Pengertian “Kawin Lari”
Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Angkola disebut dengan marlojong . Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Angkola, marlojong ‘kawin lari’ ini merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat istiadat. Perkawinan marlojong ini dilaksanakan tanpa
sepengetahuan/persetujuan orang tua perempuan. Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi dilihat/diketahui’.
Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat. Dalam hal ini, pantun Angkola berkata, /Diboan dope eme sitarolo/Na dijomurkon di ari parudan/Adat ni ompunta na parjolo/I ma hita paobanoban/ yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah, /Dibawa padi sitarolo pula/Yang dijemur di musim hujan/Adat moyang dahulu kala/Itulah yang jmenjadi pedoman/. Jadi, perkawinan sebaiknya berpedoman pada adat yang ada. Sedangkan, marlojong ‘kawin lari’ ini hanya dilakukan saat muda-mudi itu dalam keadaan terdesak dan “darurat” saja.
Seorang anak gadis yang sudah dewasa dalam masyarakat Angkola pantas untuk dikawinkan. Pantun yang menggambarkan hal itu tampak pada,/Talduskon ma giring-giring/Laho mamasukkon golang-golang/Tinggalkon ma inang adat na bujing/Madung jujung adat matobang/ yang artinya adalah, /Tanggalkan gelang tangan manis/Saat masuk gelang biasa/Tinggalkan kebiasan anak gadis/Sudah sampai ke masa dewasa/. Untuk itu, ada dua cara perkawinan (pabagas boru) menurut adat orang Angkola. Pertama, disebut dengan dipalakka sian tangga jolo yang artinya ‘diberangkatkan dari tangga depan’.
Maksudnya, perkawinan ini dilakukan dengan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan dipabuat ‘diambilkan’. Kedua, disebut dengan marlojong ‘kawin lari’. Cara ini dilakukan dengan berangkat dari tangga belakang tempat tinggal anak gadis yang di masyarakat Angkola disebut dengan kehe sian tangga pudi yang berarti ‘pergi melalui tangga belakang’. Pengertian sepenuhnya ungkapan ini adalah ‘pergi kawin dengan kemauan sendiri tanpa izin orang tua’. Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
(1). Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’. Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun di amak ‘yang bergulung di tikar’. .
(2). Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.
(3). Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang, kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti ‘berkata-kata; pemberitahuan’.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.
Penutup
Perkawinan marlojong sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang disukai orang-orang Angkola. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak bisa terhindarkan,perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang ini dipergunakan oleh muda-mudi di Angkola.
Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas terakhir yang dilakukan seorang pemuda Angkola karena adanya hambatan serta rintangan yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.
Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar
Penulis, Guru Besar Fak. Sastra USU
Sumber : Waspada Online

Asal dan usul bahasa  Suku Mandailing Natal dan  Suku Angkola

Pendapat Pakar bahasa H.N van der tuuk  (1971) "dengan mengacu ke pantai barat sumatera, dengan aman dapat dikatakan bahwa bahasa mandailing meluas dari ophir di sebelah selatan sampai ke perbatasan bagian utara dari sipirok dan batang toru. bahasa mandailing terbagi menjadi bahasa mandailing utara (juga disebut angkola) dan bahasa mandailing selatan (mandailing) dan hampir tidak ada batas pasti di antara keduanya (mirip) .

PENDAPAT VAN DER TUUK TERSEBUT MENUNJUKKAN DENGAN JELAS BAHWA BAHASA ORANG MANDAILING DAN ORANG ANGKOLA menyebar dari selatan.

pendapat ini sejalan dengan pendapat harry parkin (1978) dan prof uli kozok (2009) "aksara menyebar dari selatan (mandailing) ke utara.

ketiga orang ini (van der tuuk, harry parkin dan uli kozok) berasal dari pihak diluar suku mandailing, angkola dan "utara" jadi lbh objektif dan ilmiah serta tidak ada kepentingan pribadinya

hal yg sama juga dikatakan oleh Bisuk Siahaan (2005) dalam bukunya "Batak Toba, Kehidupan di Balik Tembok Bambu". Pendapat ini ikut memperkuat bahwa Mandailing bukan sub-etnis Batak. Aksara Mandailing memiliki aksara nya, wa dan ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam Bahasa Mandailing, sementara bunyi ini tidak terdapat dalam bahasa Toba. tetapi mereka memiliki aksaranya. Ketiga huruf ini jelas menjadi mubazir di Toba. Contohnya kata sayur(Mandailing) dan saur (Toba). Manyurat(Mandailing) dan manurat (Toba).

silahkan dibaca  dan dipahami

SUDUT PANDANG

ASPAL ( ASLI TAPI PALSU ) DAN ASEPAL ( ASLI SEPERTI PALSU )

MARGA MARGA TABBALAN DAN MARGA MARGA ORIGINAL

MARGA MARGA TABALAN SEPERTI ASPAL ( ASLI TAPI PALSU )

SANGAT MENGHARGAI PEMBERIAN MARGA YG DITERIMA DAN DISANDANG

MARGA TABBALAN DIDAPAT DIKARENAKAN BEBERAPA HAL SALAH SATUNYA DIANGKAT MENJADI ANAK OLEH SALAH SATU KELUARGA HINGGA DAPAT MENYANDANG MARGA DISYAHKAN SESUAI ADAT ISTIADAT DAN PERATURAN YG BERLAKU DISETIAP SUKU ATAU DAERAH DIMANA ADANYA PENABBALAN MARGA MARGA SEPERTI DI WILAYAH SULAWESI DLL

MARGA MARGA ORIGINAL SEPERTI ASEPAL ( ASLI SEPERTI PALSU

KARENA KURANGNYA MINAT TENTANG PENGETAHUAN ASAL USUL MARGA MARGA YANG DISANDANG HINGGA YANG ASPAL LEBIH PAHAM DAN MENGERTI DARI YANG ASEPAL

MARGA ORIGINAL ADALAH MARGA MARGA YANG DISANDANG DARI SEJAK LAHIR DAN DILANJUTKAN KE GENERASI GENERASI BERIKUTNYA KARENA MARGA MARGA ORIGINAL JUGA DIDAPAT DARI GENERASI GENERASI SEBELUMNYA HINGGA PULUHAN PULUHAN GENERASI

MENGAPA DAN KENAPA DEMIKIAN ?

MARGA MARGA BUKAN KELOMPOK DARI SALAH SATU SUKU ATAU DAERAH TETAPI MARGA MARGA TERBENTUK SEJAK ZAMAN PARA NABI NABI SEJAK DAHULU DIKENAL DENGAN KAUM ATAU BANI HINGGA TERSEBUT KHUSUS HINGGA KINI CONTOH : MARGA MARGA BANI AWALIYIN DIKENAL DENGAN KELUARGA HABIB DAN SARIFAH SERTA LAINNYA

Di Sumetara Utara terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Suku yang dianggap suku asli Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing
2. Suku Angkola
3. Suku Nias
4. Suku Batak
5. Suku Melayu
6. Suku Simalungun
7. Suku Karo
8. SukuPakpak
9. Suku Pesisir
10. Suku Lubu
11. Suku Ulu
Sedangkan  suku bangsa yang dianggap datang belakangan namun sudah turun-temurun menetap di Sumatera Utara adalah:
1, Suku Jawa
2. Suku Minangkabau
3. Suku Aceh.
Penduduk Sumatera Utara banyak juga dari keturunan India, Tiongkok, Arab, dan Pakistan.
Penduduk suku Jawa merupakan penduduk terbesar populasianya di Sumatera Utara.

Dari segi budaya, suku yang memakai marga/fam di Sumatera Utara adalah:
1. Suku Mandailing, masyarakatnya bermarga Nasution, Lubis, Batubara, Rangkuti, Matondang, dst.
2. Suku Angkola, masyarakatnya bermarga Siregar, Harahap, Ritonga, Hutasuhut, Rambe, dst.
3. Suku Nias, masyarakatnya bermarga Laoly, Zebua, Harefa, Waruwu, Gulo, dst.
4. Suku Batak, masyarakatnya bermarga Situmorang, Sitompul, Simatupang, Sihombing, Simanjuntak, dst.
5. Suku Pakpak, masyarakatnya bermarga Banurea, Tinambunan, Lingga, berutu, Bancin, dst.
6. Suku Karo, masyarakatnya bermarga Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-karo, Perangin-angin, dst.
7. Suku Simalungun, masyarakatnya bermarga Damanik, Purba, Saragih, Sinaga, dst.
Dari segi bahasa, suku-suku di atas mempunyai bahasa sesuai dengan suku bangsanya.

MARGA MARGA SUKU ANGKOLA

On ma marga" asli di Angkola dohot di Mandailing.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas, terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Anggo adong marga na sarupa goarna dohot na sian Toba, dungi halahi gabe marsada urusan intern ni marga i ma i. Ima strategi ni Ulando i mangirim alak Batak tu Angkola. Dohot resiko halahi artina halak na ro tu Angkola, harana dompak penyerangan R. Cola 1025 tu Panai, Angkola inda longon (tidak kosong).  Disi adang hian klan Ompu Jalak Maribu na manurunkon marga Dalimunthe dohot klan Aji Malim Lemleman na manurunkon marga Harahap, Ompu Parmata Sopiak na manurunkon marga Daulae dohot na asing" nampuna tanah ulayat na be. Songoni muse ma aropku marga" Siregar dohot na asing" antargan so ro panjajah Ulando i madung adong tanah ulayatna di Sipirok bope di na asing" di Angkola. Poinku, umumna halak Angkola/Mandailing inda marasal sian Toba (bahkan halak Toba pun bukan semua keturunan SRB, boleh jadi sebaliknya). Botima...

Sumber Sumber yg perlu dipelajari dan dipahami ...

https://m.facebook.com/groups/135418257296164?view=permalink&id=149106515927338

https://m.facebook.com/groups/222426864441784?view=permalink&id=4056017681082664

https://www.facebook.com/groups/147517652695203/permalink/666913944088902/

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2939324092832208&id=100002639397292

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3418107528217308&id=100000542827214

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3419662658061795&id=100000542827214

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAMORA PANDE BOSI LELUHUR MARGA LUBIS DAN HUTASUHUT

Sejarah Anak Boru Raja Kerajaan Dalimunthe Marga Lubis Dan Marga Hutasuhut Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis dan hutasuhut Menurut sejarah dan legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan.   Kemudian dia berkawin dengan puteri raja di tempat tersebut  dari Kerajaan Dalimunthe dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia Raja Dalimunthe .   Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama : 1.Sutan Borayun 2. Sutan Bugis  (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunthe Naparila, artinya puteri Dalimunthe yang pemalu).    Pada suatu ketika Namora Pande Bos

Suku Angkola

Suku Angkola” bukan bagian Suku Batak Etnis Angkola yang seringpula didialekkan Angkola, adalah ‘suku bangsa’ (orang Angkola menyebutnya Bangso Angkola) yang mendiami 3 Provinsi di Pulau Sumatera, yaitu 1.Provinsi Sumatera Utara 2.Provinsi Sumatera Barat 3.Provinsi Riau di Indonesia. Orang atau Suku Angkola di Provinsi Sumatera Utara berada di Kota /Daerah : 1. Padang Sidimpuan 2. Kabupaten Padang Lawas 3. Kabupaten Padang Lawas Utara 4. Kabupaten Tapanuli Selatan 5. Kabupaten Labuhanbatu 6. Kabupaten Labuhan batu Utara 7. Kabupaten Labuhanbatu Selatan 8. Kabupaten Asahan 9. Kabupaten Batubara Orang atau suku Angkola yang berada di Provinsi Sumatera Barat berada pada daerah atau kota : 1. Kabupaten Pasaman 2. Kabupaten Pasaman Barat, dan sekitarnya Orang atau suku angkola yg berada di Provinsi Riau berada di Kabupaten Rokan Hulu dan sekitarnya Pada awal masa penjajahan Belanda, kesemua wilayah Angkola awalnya masuk dalam Karesidenan Angkola atau Residentee Angkola di bawah Sum